Dan ilmu tidak pernah ada habisnya,,,
Senin, 27 Januari 2014
nervus cranialis
buat yang masih bingung tentang nervus cranialis. fungsinya apa, perjalanannya bagaimana, ini ada link bagus. semoga bermanfaat http://www.tsdocs.org/downloads/CranialNerves.pdf
Jumat, 10 Januari 2014
Karsinoma Bronkogenik pada Anak
1. Pendahuluan
Kanker
paru adalah penyebab utama untuk kematian yang disebabkan oleh kanker baik pada
pria dan wanita. Di Indonesia, kanker paru sampai saat ini memiliki prognosis
yang buruk dan tingkat morbiditas yang tinggi karena sebagian besar pasien datang
dalam staging yang tinggi. Secara statistik umum, diaktakan bahwa 95% kanker
paru adalah karsinoma bronkogenik, sementara hanya 5% tumor paru adalah jinak (Puruhito,
2013). Tumor toraks pada anak sangat jarang terjadi. Neoplasma dapat berasal
dari dinding dada, mediastinum, dan paru. Metastase pada paru dari ekstra
torakal lebih banyak terjadi daripada tumor paru primer (Mulholland et al,
2010). Massa paru pada anak 10 kali lebih banyak tampil sebagai massa yang
jinak atau lesi yang reaktif dibandingkan sebagai neoplasma dengan perbandingan
antara tumor primer dengan tumor metastase dengan lesi non-neoplastik adalah
1:5:60. Tumor jinak paru pada anak-anak yang paling banyak adalah tumor
inflammatory myofibroblastic (52%) dan tumor ganas paru paling banyak pada
anak-anak adalah tumor carcinoid dan pleuropulmonary blastoma. Mortalitas tumor
jinak paru pada anak cukup rendah (8,7%) dan mortalitas tumor ganas pada anak
adalah 30% (Dishop et al, 2008).
2. Jenis Tumor
Primer pada Anak
Kanker paru dapat
dibagi dalam tiga kategori, yaitu Non-Small
Cell Lung Carcinoma (NSCLC), Small
Cell Lung Cancer (SCLC) dan Mixed
Type. NSCLC dibagi menjadi 3 subkategori, yaitu Karsinoma Sel Skuamosa,
Adenokarsinoma, dan Karsinoma Sel Besar tidak Berdiferensiasi (Puruhito, 2013).
Hartmann dan Scochat pada tahun 1983 dan Hancock et al pada tahun 1993 telah
merinci kurang lebih 500 kasus keganasan primer paru pada anak. Reseksi secara
bedah masih merupakan terapi utama pada lesi primer ini, dan bedah juga
mempunyai peranan pada lesi metastase. Bronchial
adenoma merupakan tumor primer paling banyak pada anak. Tumor ini merupakan
tumor yang ganas. Bronchial adenoma
lebih sering dikatakan sebagai low grade
adenocarcinoma paru. Kejadian metastasenya sangat jarang. Secara histologi,
terdapat 3 jenis tumor primer pada anak: carcinoid (85%), mucoepidermoid (10%),
dan adenoid cystic carcinoma (5%).
Tabel 1. Neoplasma primer paru pada anak - modifikasi dari Hancock (Mulholland et al, 2010)
Karsinoma bronkogenik
jarang terjadi pada anak-anak dengan tingkat mortalitas yang tinggi yaitu 90%. Tidak
seperti orang dewasa, squamous cell
carcinoma jarang terjadi pada anak-anak, undifferentiated adenocarcinoma lebih mendominasi. Bronchioalveolar carcinoma merupakan
tumor paru yang jarang pada anak yang memiliki prognosis yang baik apabila
diterapi secara bedah. Pulmonary blastoma
merupakan tumor paru yang ganas yang terjadi paling banyak pada anak usia di
bawah 4 tahun. Secara histologis tumor ini tersusun oleh sel-sel yang
menyerupai paru saat fetus. Tumor inis sering berlokasi di perifer dengan
gejala klinis batuk, nyeri dada, dan hemoptysis. Pulmonary blastoma diterapi dengan lobektomi, dengan setengah dari
populasi pasien memiliki ketahanan hidup yang panjang (Mulholland et al, 2010).
Tabel
2. Klasifikasi tumor paru primer pada anak berdasarkan histogenesis (Dishop et
al, 2008).
3. Gejala Klinis
Tumor
primer pada anak sangat jarang terjadi sehingga deteksi klinis masih merupakan
suatu tantangan. Beberapa kasus asimptomatik dan hanya terdeteksi secara
incidental dengan imaging. Gejala nonspesifik respiratorik sering dihubungkan
ke penyakit asma atau proses inflamasi lainnya, sehingga terjadi keterlambatan
diagnosis sampai gejalanya menetap atau tidak responsif terhadap terapi
konvensional. Walaupun massanya dapat dikenali, endobronchial lesion dan cystic
parenchymal lesion mungkin secara radiologis tak dapat dibedakan dengan proses
reaktif atau malformasi paru. Kemungkinan suatu tumor paru dapat dipertimbangkan
secara klinis pada anak-anak dengan gejala wheezing, batuk yang persisten,
hemoptysis, dan pneumoni yang berulang (Dishop et al, 2008). Selain itu, gejala
lainnya dapat berupa nyeri dada persisten, sesak, pembengkakan pada leher dan
wajah, kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan, dan lemah badan
(LaRusso, 2013).
4. Karsinoma
Bronkogenik
Karsinoma
bronkogenik banyak terdapat pada usia 55 sampai usia 75 tahun dan jarang
terjadi pada usia di bawah 40 tahun. Kanker paru pada anak-anak dan remaja di
bawah usia 18 tahun sangat jarang terjadi, di mana 0,16% kanker paru terjadi
pada usia dekade pertama dan 0,7% pada dekade kedua. Pada tahun 1983 pernah
dilaporkan pada suatu review kedokteran 47 anak memiliki karsinoma bronkogenik,
mewakili 17% keganasan primer paru pada anak. Sebuah review dari Memorial-Sloan
Kettering Cancer Center yang dilaksanakan selama 21 tahun melaporkan 11 pasien
(usia mulai dari 12-21 tahun) dengan diagnosis patologis adenocarcinoma (4, termasuk well-differentiated
fetal adenocarcinoma), basaloid
carcinoma (2), carcinoid tumor
(4), dan MEC (1). Sebuah studi selama 24 tahun dari Boston Children’s Hospital
(1957-1981) melaporkan 6 tumor bronkial primer pada anak tanpa kasus karsinoma
bronkogenik.
Kasus
karsinoma paru pada anak yang dilaporkan pada berbagai literatur paling banyak
adalah undifferentiated carcinoma,
diikuti adenocarcinoma dan squamous cell carcinoma. Adenocarcinoma dapat terlihat sebagai suatu
konsolidasi pada lobus atau “white-out”
pada paru, dengan atau tanpa efusi pleura. 3 pasien dengan conventional pulmonary adenocarcinoma pada review dari
Memorial-Sloan Kattering berada pada stadium 4, di mana 2 pasien memiliki
penyakit yang sangat progresif dalam 2 bulan. Well-differentiated fetal adenocarcinoma, yang disebut juga tumor pulmonary endodermal, merupakan varian
kasus adenokarsinoma yang sangat jarang. Kanker ini memiliki prognosis yang
baik dibandingkan conventional pulmonary
adenocarcinom, dengan mortalitas kira-kira 15%. Bronchioalveolar carcinoma dilaporkan jarang terjadi dari CPAM.
Epitel mucigenik dari CPAM tipe I merupakan sel prekursor pada bronchialveolar carcinoma.
Squamous cell carcinoma menduduki
proporsi yang kecil pada kasus karsinoma paru pada anak (12%) dibandingkan
dewasa (35-50%). Sebuah hubungan patogenik dengan human papilomavirus telah dilaporkan, yang berpotensi pada
progresivitas respiratory papillomatosis
menjadi squamous cell carcinoma. Basaloid
carcinoma, sebuah variant non-small cell carcinoma yang jarang, dilaporkan
baru-baru ini pada populasi anak. Karsinoma ini merupakan tumor yang agresif,
muncul dari basal bronchial epithelial
stem cell dan memiliki ciri mikrokopis sebagai sel kecil yang tumbuh
seperti bentuk sarang dengan palisading periferal.
Kanker
paru primer pada anak memiliki sifat yang agresif, dengan mortalitas 90% dan
rata-rata ketahanan hidup selama 7 bulan setelah didiagnosis. Gejala dapat
berupa batuk, nyeri dada, pneumonia, atau hemoptysis, namun gejala awal juga
dapat berupa nyeri tulang, penurunan berat badan, atau anemia. Keterlambatan
pada diagnosis dan gejala metastase dapat menuju suatu ketahanan yang buruk
pada beberapa kasus karsinoma bronkogenik pada anak (Dishop et al, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Dishop MK, Kuruvilla S. Primary and Metastatic Lung Tumors
in the Pediatric Population – A Review and 25 Year Experience at a Large
Children’s Hospital. Arch Pathol Lab Med. 2008. 132:1079-1103.
LaRusso L. 2013. Lung Cancer. Diambil dari http://pediatrics.med.nyu.edu/pulmonary/content?ChunkIID=11700. Diakses tanggal
14 Desember 2013.
Mulholland MW, Lillemoe KD, Doherty GM, Maier RV, Simeone
DM, Upchurch GR. 2010. Greenfield;s Surgery: Scientific Principles and
Practice. Lippincott Williams& Wilkins.
Puruhito. 2013. Buku Ajar Primer Ilmu Bedah Toraks, Kardiak,
dan Vaskular. Surabaya. Airlangga University Press (AUP).
Ehler Danlos Syndrome (oleh yuni indriani hadi dan ajibatul choriqoh)
1. Pendahuluan
Ehler Danlos Syndrome (EDS) adalah suatu penyakit
herediter pada jaringan ikat yang ditandai dengan hiperekstensibilitas kulit,
hipermobilitas sendi sehingga mudah mengalami dislokasi, fragilitas jaringan
seperti mudah mengalami perdarahan, dan ruptur prematur membran selama kehamilan
(Kakadia et al, 2011). Penyakit ini terjadi pada 1:5000 individu. Jumlah yang
lebih banyak terjadi pada populasi kulit hitam. Penyakit ini diturunkan secara
autosomal dominan, namun X-linked resesif dan beberapa autosomal resesif juga
beberapa kali telah dilaporkan. EDS pertama kali diperkenalkan oleh Ehler,
seorang deramotologis dari Rusia dan Danlos seorang dermatologis dari Prancis.
Penyakit ini diklasifikasikan ke dalam 6 subtipe klinis dan 11 varian. Setiap
subtipe didasarkan pada gejala klinis, pola diturunkan, dan defek genetik.
Kaskade kompleks dan banyaknya protein yang terlibat pada sintesis kolagen
menyediakan kesempatan yang luas pada mutasi untuk terjadi dan menghasilkan
kolagen yang cacat. Mutasi ini mengakibatkan terjadinya kolagen yang disfungsi
dan menghasilkan keluhan dan gejala klinis EDS. Manajemen EDS adalah mencegah
komplikasi kerusakan pada kulit, pembuluh darah, dan persendian (Johnston et
al, 2006).
2. Klasifikasi
EDS
dibagi dalam 11 subtipe. Klasifikasi EDS terakhir, Villefranche Nosology,
dikembangkan pada tahun 1997. Saat ini EDS terdiri dari 6 tipe, berdasarkan
pada beratnya gejala klinis, pola yang diturunkan, dan defek biokimia dan
biomolekular. Tipe klasik (EDS I, II) dan tipe hipermobile (EDS III) ditemukan
sebanyak 90%. Tipe vaskular (EDS IV) sebanyak 3-10%. Tipe kifosis, artrochalasis, dan dermatosparaxis sangat jarang ditemukan (Johnston et al, 2006).
Tabel
1. Klasifikasi EDS berdasarkan Villefranche (Kakadia et al, 2011).
3. Gejala Klinis
Diagnosis
EDS secara primer berdasarkan gejala klinis. Gejala klinis utamanya adalah
mudah terjadi perdarahan dan jaringan ikat yang rapuh, hiperekstensabilitas
kulit, keterlambatan penyembuhan luka dengan scar atrofi, hipermobilitas sendi.
Mudahnya terjadi perdarahan merupakan geajala awal dari EDS. Perdarahan dari
gusi saat menggosok gigi, perdarahan yang berlebihan setelah trauma ringan
merupakan gejala yang umum dijumpai.
Tabel 2. Gejala klinis EDS (Johnson et al, 2006)
Studi
hematologi seperti jumlah trombosit, bleeding time, dan tes koagulasi memiliki
nilai normal. Namun tes Rumple Leed dapat positif, yang menunjukkan kapiler
pada EDS yang rapuh.
Hiperekstensabilitas
kulit diuji pada tempat yang netral seperti permukaan volar dari lengan karena
jarang terjadi luka atau terkena tenaga mekanik. Kulit ditarik sampai dirasakan
adanya hambatan. Hiperekstensabilitas kulit akan sulit diuji pada pasien usia
muda karena banyaknya lemak subkutan pada kulitnya.
Kerapuhan
jaringan mengakibatkan kulit yang mudah rusak terutama pada area lutu, siku, tulang
kering, dahi, dan dagu. Laserasi dan insisi sulit mengalami penyembuhan. Pada
area yang mengalami trauma berulang akan terjadi penumpukan hemosiderin
sehingga berubah warna menjadi lebih gelap.
Hipermobilitas
sendi sering mempengaruhi sendi kecil dan besar dan dapat diuji menggunakan
skor Beighton. Skor >4/9 merupakan hipermobilitas sendi yang luas.
Tabel 3. Sembilan poin skor Beighton dan gambar hipermobilitas sendi pada EDS (Wikipedia, 2013)Manifestasi kardiovaskular dapat berupa gejala yang tidak terlihat sampai aneurisma arteri, ruptur arteri tanpa aneurisma, vena varikosa, regurgitasi aorta, prolaps katup mitral, dan gangguan konduksi. Manifestasi lain pada semua tipe EDS adalah akibat dari terjadinya defisiensi pada kolagen, seperti pneumotoraks, divertikel usus dan kandung kemih, megatrakea, megaesofagus, megakolon. Hernia diafragmatika, umbilical, dan inguinal juga dapat dijumpai.
DAFTAR PUSTAKA
Johnston BA, Occhipinti KE, Baluch A, Kaye D. Ehler Danlos Syndrome:
Complication and Solution Concerning Anesthetic Management. Mej Anesth. 2006,
18, (6).
Kakadia N, Kanaki NS. Ehler Danlos Syndrome: An Overview. Journal of
Chemical and Pharmaceutical Research. 2011. 3(3): 98-107.
Wikipedia. 2013. Ehler-Danlos Syndrome. Diambil dari http://en.wikipedia.org/wiki/Ehlers%E2%80%93Danlos_syndrome. Diakses tanggal
15 Desember 2013.
Kamis, 09 Januari 2014
Emboli Lemak
1. Pendahuluan
Sindrom
emboli lemak (FES/Fat Embolism Syndrome)
merupakan kondisi klinis yang jarang terjadi di mana emboli lemak bersirkulasi
dan menyebabkan disfungsi multisistem. Pada tahun 1862, Zenker pertama kali
mendeskripsi sindrom ini saat otopsi. Pada tahun 1873, Von Bergmann secara
klinis mendiagnosis FES pertama kali. Emboli lemak biasanya asimptomatik, namun
beberapa pasien akan menunjukkan tanda dan gejala disfungsi multiorgan, yaitu
pada paru, otak, dan kulit (Shaikh, 2009). Emboli lemak biasanya berhubungan
dengang fraktur tulang panjang dan pelvis, dan lebih sering terjadi pada
fraktur tertutup daripada fraktur terbuka (Gupta et al, 2013).
2. Etiologi
FES
umumnya berkaitan dengan fraktur femur, pelvis, dan tibia, dan pasca operasi intramedullary nailing dan pelvic and knee arthroplasty. Bentuk
trauma lain yang dapat berkaitan dengan FES namun sangat jarang terjadi,
seperti soft tissue injury, luka
bakar yang berat, biopsi sumsum tulang, transplantasi sumsum tulang, resusitasi
kardiopulmonal, liposuction, dan median sternotomy. Kondisi nontraumatik
yang dapat menyebabkan FES adalah pancreatitis akut, fatty liver, terapi kortikosteroid, limfografi, infus emulsi lemak,
dan hemoglobinopati (Shaikh, 2009).
3. Patofisiologi
FES
lebih sering menyerang kapiler dan pembuluh darah vena, sehingga paru merupakan
organ yang paling sering dipengaruhi. Namun, globuli lemak dapat ,encapai
sirkulasi sistemik dan juga berfek pada jantung, otak, kulit, dan retina.
Manifestasi FES sangat bervariasi sehingga patofisiologi yang tepat masih
merupakan kontroversi. Sampai saat ini belum dapat dimengerti bagaimana
beberapa pasien dapat mengalami FES sedangkan yang lain tidak. Gejalanya bisa
terjadi dalam 12 jam sampai 72 jam, namun dapat terjadi pada hari ke-6 sampai
ke-10. Tiga teori mayor sebab terjadinya FES adalah:
a. Mechanical theory
Jika
emboli lemak cukup besar untuk menyumbat 80% pulmonary capillary meshwork, gagal jantung kanan akut dapat
terjadi. Globuli lemak pada paru meningkatkan tekanan perfusi, pembuluh darah
paru menjadi lebih bengkak dan paru menjadi kaku, sehingga jantung kanan harus
bekerja lebih keras.
b. Chemical theory
Paru
memberi respon terhadap emboli lemak dengan melepaskan lipase, yang
menghidrolisis lemak menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas
akan meningkatkan permeabilitas kapiler, destruksi arsitektur alveolar, dan
merusak surfaktan.
c. Mechanical and biochemical theories
Gejala
awal diakibatkan oleh globuli lemak dan gejala sisanya diakibatkan oleh reaksi
biokimia (Gupta et al, 2013).
4. Gejala Klinis
Gejala
utama dari FES adalah gagal napas, disfungsi serebri, dan ptechiae pada kulit.
Gejala klinis dapat terjadi 24-72 jam setelah trauma. Emboli dimulai secara
lambat dan mencapai maksimum pada 48 jam setelah trauma.
Gejala
awal mungkin paling utama disebabkan oleh oklusi mekanik pembuluh darah
multipel dengan globuli lemak yang terlalu besar untuk melewati kapiler. Gejala
setelahnya mungkin merupakan hasil dari hidrolisis lemak menjadi asam lemak
bebas yang bermigrasi ke sirkulasi sistemik.
Disfungsi
pulmonal merupakan gejala paling awal dan bermanifestasi pada 75% pasien,
berkembang menjadi gagal napas pada 10% kasus. Manifestasi berupa takipnea,
dsypnea, dan sianosis. Perubahan serebral terjadi pada 86% pasien dengan FES. Perubahannya
tidak spesifik, dapat berupa rasa mengantuk, rigiditas, kejang, dan koma. Edema
serebri mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran.
Pada
kulit dapat timbul nonpalpable ptechial rash pada dinding dada, aksila,
konjungtiva, dan leher dalam 24-36 jam dan hilang dalam seminggu pada 20-50%
pasien.
Beberapa
gejala lain tidak spesifik seperti takikardi dan pireksia. Gangguan pada ginjal
dapat berupa lipuria, oliguria, atau anuria dan kerusakan hepar berupa
jaundice. Pada retina dapat timbul eksudat, edema, perdarahan, globuli lemak intravascular
(Shaikh, 2009).
5. Diagnosis
FES
secara umum didiagnosis secara klinis dan dengan menyingkirkan penyebab
lainnya. Kriteria Gurd and Wilson
digunakan untuk mendiagnosis FES. Sedikitnya satu kriteria mayor dan sedikitnya
empat kriteria minor dapat menegakkan diagnosis FES. Kriteria lainnya yaitu Schonfeld, merupakan pengukuran secara
kuantitatif diagnosis FES. Skor lebih dari 5 dapat didiagnosis sebagai FES. Berdasarkan
kriteria Lindeque, FES dapat
didiagnosis berdasarkan gejala respiratorik saja (Shaikh, 2009).
·
Darah lengkap
·
BGA
·
Pulse oksimetri
·
Foto toraks
·
ECG
·
CT scan
7. Terapi
Terapi
FES adalah memastikan oksigenasi arteri berjalan dengan baik. Oksigen dengan
laju aliran yang tinggi diberikan untuk mempertahankan tekanan oksigen dalam
nilai rentang yang normal. Pertahankan volume intravascular karena syok dapat
memperhebat kerusakan paru akibat FES. Albumin direkomendasikan untuk
resusitasi cairan sebagai tambahan untuk menyeimbangan keseimbangan elektrolit,
karena albumin tidak hanya mengembalikan volume darah tetapi juga mengikat asam
lemak sehingga menurunkan kerusakan pada paru. Ventilasi mekanik dan PEEP
diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi arteri. Obat-obatan seperti steroid,
heparin, alcohol, dan dextran ditemukan tidak lagi efektif.
8. Pencegahan
Monitoring
pulse oksimetri pada pasien dengan risiko tinggi dapat membantu mendeteksi
desaturasi sedini mungkin, sehingga oksigenasi dan mungkin terapi steroid dapat
segera diberikan. Hal ini dapat menurunkan kejadian hipoksia dan mencegah FES
jatuh dalam kondisi yang lebih buruk. Fiksasi fraktur tulang panjang sedini
mungkin sangat penting untuk menurunkan kejadian FES (Shaikh, 2009). Penggunaan
kortikosteroid sebagai profilaksis masih kontroversi. Beberapa studi
menunjukkan penurunan insiden dan severitas FES ketika kortikosteroid diberikan
sebagai profilaksis. Hal yang cukup rasional adalah terapi steroid sebagai
profilaksis pada pasien dengan risiko tinggi seperti pada pasien dengan fraktur
tulang panjang dan pelvis, terutama fraktur yang tertutup. Metilprednisolon 1,5
mg/kg BB IV dapat diberikan setiap 8 jam untuk 6 dosis (Gupta et al, 2007).
9. Prognosis
Insiden
kematian pada FES bervariasi pada beberapa studi, mungkin disebabkan karena
underdiagnosis. FES akut fulminan dapat menuju kematian akibat gagal jantung
kanan, namun kematian paling banyak disebabkan oleh gagal napas. Walaupun
prognosis pada defek neurologis cukup baik, kematian akibatnya telah beberapa
kali dilaporkan. Insiden sindroma koroner akut, yang mungkin disebabkan oleh
globuli lemak yang bersirkulasi juga telah dilaporkan. Secara umum, kematian
akibat FES berkisar antara 5-15%.
DAFTAR PUSTAKA
George J, George R, Dixit R, Gupta RC, Gupta N. Fat Embolism
Syndrome. Lung India. 2013; 30:47-53.
Gupta A, Reilly CS. Fat Embolism. Continuing Education in
Anasthesia, Critical Care, and Pain. 2007. Vol 7. No 5. Pp 148-151.
Shaikh N. Emergency Management of Fat Embolism Syndrome. J
Emerg Trauma Shock. 2009. 2(1):29-33.
Langganan:
Postingan (Atom)